KOTA JAMBI, KENALI.CO.ID– Sudah menjadi rahasia umum money politics atau politik uang menjadi bagian di tiap kali hajatan pesta demokrasi di Indonesia, termasuk di Jambi. Bahkan di Pilkada Serentak 2024 ini, politik uang diprediksi bakal lebih masif lagi.
Prediksi ini bukan tanpa alasan. Berkaca pada Pileg Februari 2024 lalu, para caleg yang sebagian baru dilantik harus merogoh kocek cukup dalam Rp 1 – Rp 2 M untuk ‘menyiram’ agar mendapatkan suara.
Kemudian, dalam perebutan partai pendukung di Pilkada 2024 ini, para calon (pasangan calon) juga harus adu banyak “cuan” untuk mendapatkan dukungan.
Makanya tak heran, banyak yang memplesetkan pilkada serentak 2024 ini menjadi ajang adu kuat isi tas alias kekuatan finansial (banyak uang) angar Calon Kepala Daerah (Cakada). Berbagai kalangan memprediksi siapa pasangan Cakada yang banyak uang dialah yang bakal menjadi pemenang di Pilkada nanti.
Sejauh ini, memang kasus politik uang tak pernah naik ke persidangan, meski informasinya praktik ini sudah terang-terangan atau sudah menjadi rahasia umum di kalangan pemilih. Tapi tetap saja tidak ada yang diproses.
Politik uang sendiri dinilai sebagai cara politisi yang akan meraup suara untuk memiskinkan masyarakat. Bahkan, Calon Kepala Daerah (Cakada) yang instan berpotensi besar bakal berpolitik uang pada perebutan kekuasaan di masing-masing daerah.
Dari sejumlah sumber menyebutkan, para kandidat dan timses sudah menyiapkan cost untuk disebar. Berbagai strategi pembagian pun sudah disiapkan timses.
” Macam macam strategi dan cara akan dilakukan untuk ‘menyiram’. Pilkada kali ini sepertinya bakal lebih massif dan brutal,” kata sumber di internal salah satu partai yang minta namanya tidak ditulis.
Sumber ini juga memprediksi pasaran politik uang di Pilkada nanti bervariasi. Tergantung wilayah dan jumlah pemilih. Semakin banyal calon dan jumlah pemilih sedikit, maka besaran ‘siraman’ bakal lebih besar.
” Daerah yang calonya hanya dua pasangan atau head to head bakal lebih brutal lagi. Jelas mereka akan benar benar adu kuat isi tas. Apalagi sekarang masyarakat (pemilih) sudah pintar dan pragmatis. Meraka akan memilih siapa yang membayar lebih besar,” jelasnya.
Pengamat politik dari Universitas Jambi Citra Darminto mengatakan, politik uang ini sebenarnya lahir dari ketidakpercayaan diri kandidat dan tim sukses bahwa mereka bisa menang dengan cara-cara jujur. Selain itu, masalah ini muncul lantaran persoalan dari parpol, khususnya dalam konteks rekrutmen pejabat publik.
Proses rekrutmen yang tidak mengandalkan kapasitas dan rekam jejak yang jelas, melahirkan Cakada yang instan, yang tidak hanya cukup memasang baliho yang banyak untuk menarik suara pemilih.
“Biasanya Cakada yang instan ini menurut saya akan cenderung melahirkan praktik jual beli suara, apalagi kalau mereka sudah mengutamakan modal yang besar,” katanya.
Tidak hanya itu, faktor lain adalah pendidikan politik yang diberikan penyelanggara pemilu, Partai Politik maupun pihak terkait belum inovatif dan kreatif dalam memberikan edukasi tentang pentingnya pemilu, pentingnya memilih calon yang baik dalam pemilu dan apa konsekuensi dari politik uang itu sendiri.
Ia memandang pola jual beli suara ini bervariasi. Ada yang langsung diterima oleh pemilih yang menerima manfaat politik uang itu. Lalu bisa juga dilakukan secara tidak langsung. Misalnya dengan aplikasi online e-Walet, DANA dan lainnya, ini modus terbaru dampak dari penggunaan teknolog digital saat ini.
“Nah, bagaimana dengan Pilkada di Provinsi Jambi? Saya memandang Pilkada kali ini lebih berisiko terjadi kecurangan, bisa dikontribusikan oleh perilaku kompetisi yang pragmatis, di tengah suasana kompetisi yang sangat kompetitif dan aktor kontestan yang kompetitif juga,” jelasnya.
Menurutnya, para penyelanggara pemilu dalam mengantisipasi terhadap persoalan Money politik ini, Pendidikan Politik ini harus secara terus menerus disampaikan kepada masyarakat. Tidak hanya menjelang pemilu saja, dan tidak juga harus di tempat-tempat yang mewah, di warung kopipun juga bisa, di kantor desa juga bisa.
Baik partai maupun pemilih harus menjadi sasaran pendidikan politik. Partai politik harus didorong menjadi salah satu instrumen, untuk menjadi filter terjadinya politik uang, begitupun dalam memberikan sosialisasi dalam pendidikan politik, bukan serimonial tapi action dan tepat sasarannya.
“Misalnya dengan melibatkan kepala desa Ketua RT, karna money politik ini sering terjadi di wilayah grass road, saya melihat sudah ada beberapa desa yang telah mendaklarasikan Desa anti politik uang,” jelasnya.
Upaya lain yang bisa dilakukan selain komitmen bersama untuk tidak melakukan politik uang, baik terhadap paslon cakada, Partai Politik, dan Ketua Tim Sukses.
“Tinggal sekarang bagaimana penegakkan hukum Pemilu yang tegas berkeadilan antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan di dalam Sentra Gakumdu. Perlu juga melibatkan peran PPATK dalam memonitor pergerakkan Uang Cakada yang akan berkontestasi di Pilkada khususnya di Provinsi Jambi,” sebutnya.
“Dan terakhir saya ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat Provinsi Jambi bahwa pemimpin yang membagi bagikan uang, biasanya mereka akan cenderung mempertahanan kemiskinan,” pungkasnya. (fey)(SUMBER:JAMBIONE.COM)