Sejarah Mudik, dari Bahasa Melayu Berkembang di Orde Baru

KENALI.CO.ID-Menyambut lebaran Idulfitri, masyarakat Indonesia disibukkan dengan tradisi mudik atau pulang ke kampung halaman. Mudik menjadi istilah yang umum dipakai untuk menggambarkan kegiatan seseorang pulang ke kampung halaman. Tradisi ini dipakai untuk merayakan momen lebaran Idulfitri di tanah kelahirannya. Dalam sejarah Indonesia, mudik telah menjadi tradisi sejak lama.

Suasana menjelang perayaan Idul Fitri atau yang biasa kita sebut dengan Lebaran, dirasa merupakan waktu yang memiliki keistimewaan lebih untuk bertemu, berkumpul, dan bersilahturahmi dengan keluarga besar dan sanak saudara, dan juga untuk berziarah. Masyarakat berbondong-bondong pulang ke “kampung halaman”, atau biasa kita sebut dengan mudik. Ya, Lebaran dan mudik seperti dua hal yang tidak bisa terpisahkan dan merupakan momen yang sangat ditunggu-tunggu khususnya oleh para perantau dan umat Muslim.

Di Indonesia, “tradisi” mudik dan momen menjelang Ramadhan ataupun Lebaran merupakan suasana dan momen yang sangat dinanti dan meriah. Seminggu menjelang Lebaran banyak bermunculan pasar atau toko yang menawarkan berbagai makanan dan minuman “khas” Lebaran seperti kue-kue kering, ketupat, opor ayam, rendang, sirup, dan lain sebagainya. Selain bersilahturahmi dengan berkumpul dan menyantap makanan bersama keluarga, Lebaran juga identik dengan berziarah.

Sejarah mudik dimulai jauh sebelum zaman Kerajaan Majapahit. Mudik lebih dulu menjadi tradisi para petani Jawa untuk kembali ke kampung tinggalnya. Para perantau kembali ke kampung halaman untuk membersihkan makam leluhur.

Namun, pada pertengahan abad ke-20, mudik menjadi fenomena besar yang melibatkan jutaan orang di seluruh Indonesia.

Pada waktu itu, infrastruktur transportasi di Indonesia masih sangat terbatas. Jalan raya dan jaringan transportasi belum terlalu berkembang, jadi perjalanan mudik masih menggunakan transportasi yang sangat tradisional seperti kereta api, bus, dan kapal laut.

Baca Juga :  Diberi Kejutan Pulang Kampung dan Modal Usaha, Pemulung di Sukabumi Menangis dan Pingsan di Pelukan Jendral Polisi

Karena keterbatasan transportasi, orang sering harus menghabiskan waktu berhari-hari dalam perjalanan untuk sampai ke kampung halaman mereka.

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi dan transportasi telah membuat mudik lebih mudah dan lebih nyaman.

Ada banyak pilihan transportasi yang tersedia, termasuk pesawat terbang, kereta cepat, dan bus ber-AC yang modern.

Jadi, sekarang orang bisa sampai ke kampung halaman mereka dalam waktu yang jauh lebih singkat dan lebih nyaman.

Namun, meskipun mudik lebih mudah dan lebih nyaman, tetapi tetap ada tantangan dan risiko yang harus dihadapi oleh para pemudik.

Tantangan termasuk antrean yang panjang di terminal dan stasiun, harga tiket yang mahal, dan kemacetan lalu lintas di jalan raya yang padat.

Dosen Departemen Sejarah Universitas Airlangga (Unair)  Moordiati, sebagaimana dikutip medco.com menyebutkan fenomena pulang kampung atau mudik sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit dan Mataram Islam. Ketika itu, penguasa yang ditugaskan bekerja di luar kerajaan akan pulang dan kembali ke kampungnya di hari-hari tertentu.

Meski telah ada sejak zaman kerajaan, tetapi fenomena mudik serta penggunaan istilahnya diperkirakan baru terjadi secara besar-besaran pada 1960-an hingga 1980-an. Hal itu selaras dengan tingginya angka urbanisasi masyarakat desa dan kota.

Kata mudik merupakan serapan dari bahasa Melayu yang berarti dari hilir ke hulu. Dalam tradisi Melayu, mudik artinya perpindahan dari hilir ke hulu.

Sumber :dari berbagai sumber: