Jalabia, Donat Kampung Khas Bekasi yang Masih Eksis

kenali.co.id, KULINER – Menyusuri Jalan Raya Cibening-Cikedokan, Desa Cibening, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, Anda dapat menemukan kedai Jalabia Ma Eti. Di tengah gempuran jajanan yang semakin beraneka ragam dari mancanegara seperti kebab dan takoyaki di kanan kirinya, Ma Eti tetap setia menjual jajanan tradisional khas Bekasi.

Salah satu primadona jajanan tradisional Ma Eti adalah jalabia. Bagi banyak orang, jalabia terdengar asing, namun masyarakat Bekasi sangat menyukai jajanan ini. Jalabia adalah kue yang menyerupai donat, dengan bahan tepung ketan hitam dicampur kelapa parut.

“Kalau kata orang mah donat kampung,” ujar Yeti Sri Wahyudi, anak dari Ma Eti ketika berbincang bersama, Minggu, 26 Maret 2023.

Proses pembuatannya tidak terlalu sulit. Pertama, kelapa diparut, kemudian diaduk bersama tepung ketan dan diuleni. Setelah itu, adonan dibuat berbentuk bulat seperti membuat donat dengan lubang di tengahnya, kemudian langsung digoreng dengan minyak panas.

Jalabia memiliki tekstur yang basah dan terlihat berkilauan. Cairan kental di atas permukaan jalabia adalah gula merah, yang membuat jalabia terasa sangat manis. “Itu gula merah direbus dulu biar cair. Nanti yang abis digoreng jalabianya dicelupin ke gula merah, baru diangkat,” ujar Yeti.

Menurut Yeti, jalabia juga dapat ditemukan di daerah lain di Jawa Barat, tetapi jalabia khas orang Sunda Bekasi memiliki kekhasan tersendiri. Teksturnya keras di luar, namun sangat lembut di dalam. Ditambah rasa manis gula merah dan gurih sehingga menghadirkan cita rasa yang unik. Jalabia akan semakin nikmat disantap jika ditemani oleh secangkir kopi pahit.

Warisan Nenek Moyang

Ma Eti telah berjualan jalabia lebih dari 10 tahun. Resep jalabia telah diwariskan turun-temurun dari nenek moyang Ma Eti. “Sejarahnya sih dari neneknya ibu saya,” ujar Yeti. “Udah ada dari nenek moyang dulu.”

Baca Juga :  Imbauan Sandiaga kepada Para Pemudik: Ayo Berwisata dan Bantu Ekonomi Kreatif Lokal

Dibanding kue lain, warna jalabia adalah yang paling mencolok karena warnanya yang cokelat gelap. “Kalau gula merah yang biasa itu, kayak buat cucur, dia gak terlalu item, kalau buat jalabia kan item. Gulanya yang bagusan, yang agak iteman gitu,” ungkap Yeti.

Warung jalabia Ma Eti merupakan pelopor dan termasuk yang paling laris di daerah Setu, Bekasi. Hal ini karena ukuran jalabianya lebih besar dibanding tempat-tempat lain yang menjual jalabia.

“Kalau orang-orang pada ke sini yang paling gede, yang di tempat lain (jalabianya) pada kecil. ‘Di sini aja yang paling gede’, katanya gitu,” ungkap Yeti.

Selain menjual jalabia, Ma Eti juga menjual berbagai kue tradisional lainnya. Jenis kue yang dijual juga semakin beragam menjelang lebaran. Ada kue kering seperti kue picis, rengginang, renggining, tape uli, kue teng teng atau jipang, akar kelapa, kacang goreng, biji ketapang, cucur, hingga dodol.

Yeti menjelaskan, “Dodol kan kalo di sini biasanya cuma ada pas lebaran doang, tapi di warung Ma Eti tiap hari ada dodol. Jadi nggak harus nunggu lebaran dulu.” Warung Ma Eti juga menjual makanan untuk takjil, seperti kolak dan asinan.

Antusiasme Masyarakat Masih Tinggi

Masyarakat sekitar masih banyak yang suka dan mencari jalabia, konon karena sulit ditemukan. “Iya, alhamdulillah yang beli mah pada orang jauh-jauh. Dari luar Bekasi ada, buat oleh-oleh,” ungkap Yeti.

Anak-anak juga masih menggemari jalabia. “Apalagi kalau Sabtu Minggu pada main-main kan ya ke sini, banyak tempat wisata tuh yang naik odong-odong cimol, nanti pada berhenti ke sini,” lanjutnya.

Dalam seharinya, Warung Ma Eti dapat menjual lebih dari 150 biji jalabia. Ma Eti bersama tiga orang karyawannya dapat menghabiskan satu dus atau sekitar 20 kantong tepung ketan dalam sehari. Selain itu, setiap adonan jalabia membutuhkan 25 buah kelapa yang diparut.

Baca Juga :  6 Kuliner Legendaris di Menteng, Surganya Pencinta Makanan

Proses pembuatan satu kuali yang biasanya dapat memuat 50 jalabia, memakan waktu 20 menit. Namun, Ma Eti membuatnya secara bertahap. “Bikinnya gak sekaligus. Bikinnya bertahap, kalau di meja udah berapa bak, kita setop dulu. Kalau mau habis, kita baru bikin lagi,” jelas Yeti.

Lebih lanjut, seluruh proses pembuatan jalabia menggunakan tangan tanpa campur tangan mesin atau cetakan khusus.

Dapat Menghasilkan Rp1 Juta Sehari

Harga kue jalabiya Ma Eti dapat dibandrol dengan harga Rp2500 per bijinya. Harga ini termasuk tinggi dibanding jajanan lainnya sehingga jarang dipesan untuk acara besar seperti pernikahan.

“Kalau buat acara hajatan, jalabia sih jarang, paling kue lain kayak bugis, apem, gitu. Soalnya kalau buat hajatan harganya terlalu mahal. Karena bahan-bahannya juga lumayan mahal,” jelas Yeti. Dalam sehari, Ma Eti dapat menghasilkan paling sedikit Rp1 juta sehingga dapat balik modal dengan berjualan jalabia dan jajanan pasar lainnya.

Warung Ma Eti tidak memiliki cabang, namun banyak orang yang ingin menjual jalabia memesannya dari Ma Eti, salah satunya penjual-penjual dari destinasi wisata Taman Limo Jatiwangi, Cikarang.

“Taman Limo itu tuh yang di Jatiwangi, Sabtu Minggu mereka ngambil dari sini. Udah berapa tahun mereka langganan,” ujar Yeti.

Menurut Yeti, Jalabia sulit ditemukan di daerah Jakarta, dan lebih sering dijual di daerah Bekasi. Harapannya, jalabia dan kuliner Bekasi dapat lebih maju ke depannya.

*intan/kenali.co.id