KENALI.CO.ID,- Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menggelar Ekspedesi Geopark Kaldera Toba, 4-7 Februari 2023. Catatan yang masih tercecer disampaikan oleh Henny Murniati, SS, Pengurus SMSI Pusat. Demikian laporannya:
Mendatangi Danau Toba dengan mengikuti Ekspedisi Geopark Kaldera Toba dari tanggal 4 – 7 Februari merupakan pengalaman yang luar biasa. Kegiatan advanture yang diinisiasi teman-teman di jajaran Serikat Media Siber (SMSI) Sumatera Utara berkolaborasi dengan para pengurus SMSI Pusat yang dipimpin oleh Ketua Umum SMSI Firdaus akhirnya terwujud setelah beberapa kali para pengurus mengadakan rapat koordinasi.
“Alhamdulillah, ekspedisi Toba ini berlangsung dengan baik dan lancar. Ini bisa menjadi cetak biru pelaksanaan ekspedisi SMSI di tahun-tahun yang akan datang,” kata Firdaus.
Dengan kepiawaian para pengurus SMSI Sumatera Utara dan SMSI kabupaten kota bekerja sama dengan pihak pemerintah daerah setempat dan bantuan pihak swasta, akhirnya ekspedisipun terfasilitasi dengan baik, dan diikuti hampir 200 pengurus SMSI seluruh Indonesia.
Catatan perjalanan kami diawali dari Kabupaten Tapanuli Utara, turun di bandar udara Internasional Silangit.
Ketika pesawat hendak mendarat di Bandara Internasional Silangit, di Kecamatan Siborong-Borong, Tapanuli Utara, kami sudah disambut panorama fantastik keelokan alam Tapanuli utara.
Daerah perbukitan yang menghijau dengan dihiasi pohon cemara menjadi tontonan alami yang menyegarkan mata. Sesekali terlihat lahan jagung yang letaknya tidak jauh dari rumah beratap seng.
“Di sini rumah penduduknya memang beratap seng. Soalnya cuacanya dingin,” ujar Rosminta, salah satu peserta ekspedisi dari Banten tapi kelahiran Sumatera Utara.
Masih segar mata setelah memandang alam Tapanuli Utara, kami kembali disuguhi panorama indah Danau Toba di sela-sela perbukitan saat kendaraan yang kami tumpangi melaju menuju Kampung Ulos Huta Nagodang di Kecamatan Muara.
Kami ternyata terlambat beberapa jam datang. Rombongan sudah terlebih dahulu berkunjung ke Geopark Huta Ginjang yang berada di 1.095 meter di atas permukaan laut, sudut spot melihat Danau Toba yang indah dari ketinggian.
Kampung Ulos Huta Nagodang
Tapi tak mengapa, kekecewaan terobati begitu sampai di Kampung Ulos Huta Nagodang di Kecamatan Muara. Deretan rumah khas Batak yang terletak di tengah persawahan sangat indah untuk dilewatkan.
Sejumlah ibu-ibu duduk sambil merajut ulos dengan alat tenun. Sementara di sisi mereka, beberapa kain ulos yang indah dipajang dengan warna warninya yang indah.
Keahlian menenun di Desa Huta Nagodang merupakn tradisi turun menurun dari nenek moyang mereka. Kain ulos yang ditenun jenis Ulos Harungguon, yang biasa dikerjakan selama 1-2 minggu.
Tapi saat ini, para penenun ulos di Desa Huta Nagadang ini rata-rata sudah lanjut usia, jarang ditemui penenun berusia muda. “Mereka (red. Generasi muda) maunya merantau, tak mau menenun ulos ini,” kata Asti Opusunggu ditemui saat menenun benang menggunakan sorha, alat tenun ulos khas Batak.
Kedatangan kami ke Kampung Ulos ini memang sudah ditunggu tim Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Tapanuli Utara di bawah pimpinan ketuanya Satika br Simamora, yang juga istri Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan, dan para anggota kelompok sadar wisata (pokdarwis) kecamatan setempat.
Saya sedikit merasa surprise begitu bertemu Satika. Di daerah terpencil di Kecamatan Muara, Satika tampil dengan modis mengenakan setelan baju ulos yang sudah dirancang menjadi baju kekinian.
Wajahnya yang cantik khas batak dan kemampuannya berkomunikasi membuatnya menjadi menarik. Tak heran, selain menjadi istri Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan, Satika juga lulusan terbaik Universitas HKBP Nomensen dengan nilai A saat meraih gelar Magister Management-nya.
Satika ternyata sangat konsen dalam memajukan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di daerahnya, terutama dalam pelestarian dan pengenalan tenun ulos tidak hanya ke seluruh nusantara, tapi juga ke dunia luar.
“Kita ada delapan kategori produk kita untuk UMKM, yaitu snack, makanan, minuman, tenun ulos, fashion ulos, tas, souvenir hingga kriya.
Khusus tenun ulos, Satika mengaku sangat bersemangat untuk memperkenalkannya ke dunia luar, sehingga ia berpikir untuk meningkatkan produksi dan kualitasnya.
“Selama ini, tenun ulos hanya biasa dipakai untuk upacara adat atau sebagai kebudayaan saja, belum dipakai untuk fashion atau mode,” tuturnya.
Karena itu, ia pun mencoba meningkatkan produksi tetapi pembelinya tidak terlalu banyak karena harganya yang relatif mahal dari 300 ribu hingga 15 juta rupiah. Akhirnya, Satika menggunakan serat sintetis sehingga harga kain ulos relatif murah tetapi idenya tersebut sempat ditolak para penenun.
“Untuk meningkatkan kebutuhan ulos, kita melakukan kreasi tenun ulos yang siap pakai. Awalnya kebanyakan penenun menolak ide ini, dan hanya penenun dari Desa Papande Kecamatan Muara yang bersedia berpartisipasi. Setelah Desa Papande sukses, banyak penenun dari daerah lain menjadi terbuka dan ikut bergabung. Sekarang, kreasi tenun ulos dari Tapanuli Utara selalu memenangkan setiap perlombaan fashion di tingkat nasional dan mayoritas penenun kewalahan untuk memenuhi pesanan pembeli,” ujarnya.
Saat ini, tenun ulos menjadi salah satu penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah Tapanuli Utara. Dengan menggerakkan 11 ribu penenun ulos yang ada, potensi ekonomi tenun daerah ini mencapai 1 trilyun rupiah per tahun.
Satika berjuang memperkenalkan tenun ulos tidak akan berhenti meskipun nantinya ia tidak menjadi Ketua Dekranasda lagi.
“Saya berpikir kalau Tuhan berkeinginan saya bisa lebih besar lagi kenapa enggak, berarti Tuhan ingin saya berkontribusi lebih besar lagi terhadap mereka. Karena itu, tetap motivasinya jangan pernah berhenti berbuat baik, jangan pernah hitung-hitungan. Kalau selama ini saya berbuat sebagai Ketua Dekranasda ya mungkin kemampuan saya sampai sini, tapi kalau Tuhan berkehendak saya berada di pusat, berarti perjuangan saya akan lebih besar lagi dari pusat. Yang penting saya tetap ada di hati mereka.”










